Minggu, 27 Januari 2013

ADA SENGKUNI DI NTB


AWAS   ADA  SENGKUNI  DALAM   KONFLIK
DI   NTB
A.    Pengantar
Tak ada tokoh setenar Sengkuni untuk hal-hal yang bersangkutpaut dengan kelicikan dan kebusukan. Jika pada figur ‘orang-orang kiri’ semisal Burisrawa, Durna dan Jayadatra kita masih bisa menemukan sisi baik meski samar-samar, maka sepertinya hal ini tak berlaku pada Sengkuni.
Tak terbantahkan bahwa Sengkuni alias Haryo Suman adalah tokoh antagonis tulen. Masyarakat tradisional Jawa memakai nama Sengkuni untuk menjuluki orang paling tidak disukai di lingkungannya. Di masa lalu, dalam pentas wayang kulit yang melibatkan Sengkuni, setelah pertunjukan masyarakat melarung wayang Sengkuni ke laut Selatan sebagai simbolisme penolakan karakter jahat yang dipersonifikasikan pada tokoh ini.
Membicarakan Sengkuni bukanlah dalam konteks untuk mencela, juga bukan dalam rangka mengadopsi wataknya yang angkara murka, namun lebih pada mewaspadai bahaya laten yang mungkin muncul  dan  telah muncul disekitar  kita  berupa  konflik  vertical dan  horizontal  . Mendiskusikan Sengkuni selalu relevan pada setiap kondisi karena di masyarakat nyaris ada orang-orang yang berpotensi menjadi penghasut, pengacau dan oportunis yang hipokrit.
Inilah Sengkuni, yang pada mulanya adalah seorang pangeran yang tampan, namun kemudian menjadi buruk rupa sebagai akibat ulahnya sendiri. Sengkuni mempunyai pusaka berwujud Cis (tongkat pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah..
.Puncak kelicikan Sengkuni adalah upaya pembunuhan Kunti dan para Pandawa dalam Lakon Bale Sigala-gala. Atas ide Sengkuni, Kurawa membangun sebuah rumah peristirahatan bagi Kunti dan Pandawa dari kayu yang mudah terbakar. Tak hanya itu, mereka juga menyajikan makanan dan minuman yang dalam mampu menidurkan dalam sekejab, kemudian mereka membakar rumah kayu itu di saat Kunti dan Pandawa tertidur lelap. Hanya kewaskitaan Bima membuat ibu dan anak itu selamat. Perang Bharatayudha adalah akhir riwayat Sengkuni. Meski ia kebal senjata oleh khasiyat Minyak Tala, ia dikalahkan Pandawa di perang antar keturunan Kuru ini. Ia mengakhiri hidupnya dengan tragis, digigit oleh Duryudana lalu jasadnya dilumatkan oleh Gada Rujakpolo milik Bima.
B.     Konfik di NTB
Kita menyaksikan  betapa secara tidak  terduga sering  terjadi  konflik di tengah masyarakat (khususnya di NTB),  dan  terakhir  terjadi di Kabupaten Sumbawa.  Berbagai teori  telah diungkap  oleh para pakar  tentang penyebab  konflik  dengan  pendekatan  yuridis  dan  sosiologis ,  dan  berapa  kali penelitian  dan seminar  telah dilakukan  untuk  merumuskan cara cara meredam konflik.  Tapi  konflik tetap saja  terjadi.
Maka perlu kiranya  sedikit  bercermin pada  pendekatan  budaya dan berkesenian,  bahwa  konflik terjadi  karena ada    juru  hasut, juru fitnah, juru provokasi “  yang  bekerja dengan ilmu    Cis    yang  dipunyai Sengkuni.
Jika  Sengkuni memiliki “ CIS “  atau tongkat pendek untuk memerintah gajah, maka  pada era modern sekarang ini   maka ilmu yang dimliiki para Sengkuni adalah  SMS  yang bisa menghasut  dan memerintah  manusia untuk tunduk dan percaya pada pesan SMS.
Siapa  sebenarnya  para Sengkuni  yang ada di era modern sekarang ini ?   Jawabnya sama dengan Sengkuni pada cerita Pewayangan.  Sengkuni bukanlah orang sembarangan atau orang orang yang tidak mengerti dan dari kalangan orang biasa.   Sengkuni, pada galibnya adalah orang orang  cerdas dan orang orang pilihan.  Bahkan  Sengkuni awalnya adalah seorang “ pangeran yang tampan “,  tetapi kemudian menjadi buruk karena kelakuannya.
Sengkuni di zaman modern ini adalah “  kumpulan orang orang  berpendidikan “  yang  pandai menggunakan  tehnologi ( HP dan sejenisnya  sebagai senjata  provpokasi), Sengkuni modern adalah orang  yang lihai memainkan fakta dan logika untuk mengecoh opini masyarakat.  Sengkuni modern adalah orang terdidik,    tapi karena tidak  berhasil  masuk dalam riuh rendah  lapangan kerja yang dijanjikan maka jadilah mereka menjadi penganggur tersembunyi , penganggur terdidik   dan  menggumpal frustrasi dan akhirnya melahirkan tempramen garang seperti Sengkuni, dan biasa menerima bayaran untuk demonstrasi dengan  berbagai tarif.    Tarif  yang telah ditawarkan   Sengkuni di NTB adalah  Rp, 50 000  untuk sekedar ikut naik kendaraan Truck melambaikan bendera dan spanduk  tanpa ikut  berteriak.  Jika ikut  berteriak, maka tariff yang didosorkan Sengkuni adalah Rp. 100.000.  Nah yang terakhir, jika ikut naik Truk, Berteriak dan melempar dan membakar tarifnya lain lagi.
Sengkuni modern ( termasuk di NTB)  adalah kumpulan orang orang yang gagal dalam mengambil bagian dalam politik dan pernah  terkecewakan oleh politik.  Politik yang dulu dianggap sebagai rumah masa depan, ternyata telah  menghabiskan masa depannya akibat kejam dan hitamnya politik,  kawan jadi lawan,  teman jadi musuh,  saudara menjadi kurawa, tawa menjadi tangis.  Semuanya akibat ketidak siapan kita menghadapi reformasi politik dan demokrasi  yang kurang tertata secara substantive.
Maka  ketika kita ingin menyelesaikan konflik di NTB  tidak cukup hanya dengan menangkap  masyarakat  yang hanya sekedar tersulut emosi, atau hanya menyelesaikan sesuatu yang ada di permukaan.   Maka penyelesaian konflik  adalah memulai dengan merancang ulang  sebuah kebijakan.   Ada kebijakan yang salah dalam  pengelolaan sumber daya manusia , sumber daya ekonomi, politik dan  lapangan kerja,. Kebijakan yang menciptakan Sengkuni Sengkuni  baru di NTB.   Ada ketidak adilan, ada  ketimpangan, ada kesombongan, dan  ada  nilai kepantasan yang telah sirna.
Persoalan konflik antar  etnis di Sumbawa  bukan pertama kali, tapi pernah  terjadi 20 tahun yang lalu dengan modus yang hampir sama yaitu “ kebijakan yang salah dalam pembagian sumber daya ekonomi .    
Ada kesalahan dalam kebijakan “ penempatan SDM atau personalia petugas keamanan di suatu wilayah “ yang berpotensi menciptakan gesekan cultural.     Jika di Aceh polisi  harus berbusana Muslim (bagi Polwan).  Maka di  NTB  yang mayoritas penduduk muslim tentunya  ada pendekatan keamanan yang khusus dari pemangku keamanan. 
Maka tugas  DPRD  dan Pemerintah adalah merencanakan kebijakan yang melahirkan keadilan, kepantasan, kesejahteraan yang  jauh dari konflik.

C.      Kesimpulan

Menyelesaikan konfiik di era modern sekarang ini, tidak cukup dilakukan dengan pendekatan keamanan. Jika dulu, ketika terjadi konflik dan kerusuhan, maka \petugas cukup menembakkan peluru hampa, maka masyarakat lari terbitit  birit,   Tapi sekarang, ketika masyarakat dihadang dengan tembakan ,,maka mereka semakin beringas dan emosi, maju terus pantang mundur.  Maka harus ada  pendekatan prefentif  yang  lebih dialogis dengan mempoisisikan keseimbangan harkat dan martabat manusia.   Pendekatan keamanan, hanya mampu memadamkan api seketika,  tapi tidak untuk memadamkan sumber api yang disulut oleh Sengkuni oleh kesalahan kebijakan.
Mari kembali menggugat kebijakan yang salah demi  memenangkan kebenaran yang damai.