Selasa, 31 Januari 2012

Teori Keadilan

TEORI  KEADILAN   JOHN  RAWL
OLEH  :  DR. H.ZAINAL  ASIKIN,SH,SU
Masyarakat adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan di antara individu. Namun, yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya bersifat cooperate melainkan juga kompetitif, bahkan tidak jarang saling menjatuhkan di antara yang lain. Kenyataan ini memberikan ruang pada konsep keadilan, bagaimana mengatur kehidupan individu-individu yang berbeda dan sama-sama mempunyai kepentingan sendiri, sehingga bisa berjalan bersama saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain. Tulisan ini mengungkap pemikiran John Rawls dalam bukunyaA Theori of Justice yang berusaha menjawab persoalan tersebut.
Peta Pemikiran Etika.
Sebelum berbicara tentang Rawls, perlu dipetakan dulu pemikiran etika secara keseluruhan, sehingga diketahui posisi konsep keadilan Rawls dalam kancah pemikiran etika. Harus dikatakan bahwa etika bukan disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari lainnya melainkan justru merambah pada seluruh sendi keilmuan, teoritis maupun praktis. Ia adalah salah satu dari sekian fondasi peradaban manusia. Di sini akan dilihat persoalan-persoalan etika dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusannya, etika dalam dataran normatif (teoritis), sosial dan hukum.
A. Pertama, dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusan moral.
Ada tiga kelompok pemikiran dalam masalah ini.
(1) Antara ekspresi dan tuntutan (assertion). Menurut kelompok ini, sebuah tindakan adalah wujud dari ekspresi langsung dari pelaku atau sikap yang tanpa harus dipikir lebih dulu. Artinya, sumber keputusan moral adalah reaksi langsung, insting dan gharizah tanpa berkaitan dengan kondisi lingkungan (lokus dan tempus). Sebaliknya, menurut yang lain, sumber tindakan moral adalah adanya tuntutan dari lingkungan, misalnya, sikap ketika menghadap raja berbeda dengan ketika menghadapi bawahan.
(2) Antara pernyataan dari rasa pelaku (personal taste) dan pilihan-pilihan yang dihadapi pelaku (personal preference). Menurut kelompok ini, sumber tindakan moral bukan  gharizah atau kondisi tertentu melainkan pada perasaan yang bersangkutan. Sebaliknya, lawan kelompok ini menyatakan sebuah tindakan dilakukan setelah seseorang mempertimbangkan berbagai alternatif. Artinya, sumber keputusan moral adalah rasio setelah mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada.
(3) Antara subjektif dan objektif. Menurut kelompok ini, moralitas lebih merupakan penilaian subjektif pelaku. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk, itu adalah subjektif. Sebaliknya, menurut yang lain, moralitas adalah objektif, sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, ketika seseorang menyatakan meja itu hijau, adalah karena kondisi riil meja adalah hijau.
B. Kedua, dataran etika normatif (teoritis). Di sini ada beberapa kelompok  pemikiran.
             (1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu. Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan.  Termasuk dalam kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan si pelaku pada kebahagiaan tertinggi. Tokoh utamanya adalah Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan  pribadi si pelaku.Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang lain.7 Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873).
(2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan melainkan pada perbuatan itu sendiri, dengan merujuk pada aturan perilaku formal, di mana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau a priori.  Misalnya, berbohong adalah jelek, karena perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
(3) Relativisme, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu, sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda. Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrrho, Westermack, Joseph Fletcher dan kaum skeptis.
(4) Nihilisme, suatu paham yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satu pun yang bisa digunakan sebagai patokan etis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900), Schopenhauer dan Giorgias.(5) Universalisme, bahwa apa yang dianggap baik oleh seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi yang sama. Misalnya, jika A tidak boleh mencuri dalam situasi tertentu, maka B, C, D dan seterusnya juga tidak boleh mencuri dalam situasi yang serupa.
C. Ketiga, etika dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat (sosial).

Ini   lebih bersifat praktis dan langsung menjawab persoalan yang timbul, terbagi dalam tiga pemikiran.

(1) Dalam kaitannya dengan hukum sosial, etika membahas persoalan seperti, euthanasia, aborsi,   pengawasan senjata, kebebasan berbicara, tentang hak kepemilikan dan perlindungan satwa.
 (2) Dalam hubungannya dengan peran negara, etika berbicara tentang kebebasan, hak azazi manusia (HAM), demokrasi dan keadilan.
(3) Dalam kaitannya antara hak dan kewajiban, etika membahas persoalan keadilan dan hak-hak pribadi.

D. Keempat, etika dalam hubungannya dengan hukum (law).

Dalam hal ini   muncul berbagai teori. Antara lain

, (1) Teori hukuman (punishment), bahwa yang berbuat salah mesti dihukum, bisa berupa pemberian ganti rugi (retribution), memberi balas jasa (restitution), atau memberi manfaat pada yang dizalimi (utilitarian).

  (2) Teori tanggung jawab (responsibility), bahwa siapa yang berbuat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sini berkaitan dengan, apakah tindakan tersebut dilakukan karena tidak-tahu, adanya paksaan atau tekanan, atau karena kesalahan semata.

  (3) Teori kesengajaan berbuat (intentional acts) dan ketidaksengajaan bertindak (unintentional acts), bahwa berkaitan dengan hukum, perlu dilihat apakah tindakan tersebut disengaja (direncanakan) atau tidak direncanakan.  yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana social ekonomi tersebut dikaitkan.  Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akandian ggap  adil jika perolehan sarana social ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan   dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang menguntungkan.   Sekarang marilah kita melihat skema dari prinsip keadilan Rawls dan   penjelaskan atas keempat interpretasi yang mungkin terjadi.

1.  Prinsip Keadilan  Efisiensi dan Kesamaan

Prinsip ini merupakan perpadan antara (a. prinsip efisiensi, dan (b.) kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat. Sistem ini mengandaikan terpenuhinya prinsip I, “kebebasan yang sama”. Diasumsikan juga oleh sistem ini bahwa keadaan ekonomi secara kasar berada pada pasar bebas. Bagi sistem KA, suatu kegiatan stuktur social-ekonomi dianggap adil jika setiap orang mempunyai kebebasan mewujudkan bakat dan kemampuannya untuk mendapatkan apa yang diinginkan sejauh tidak membawa membawa kerugian pada pihak lain.
Rawls mengkritik sistem ini karena bisa melahirkan kesewenang- wenangan. Kesewenang-wenangan ini muncul berdasarkan atas kenyataan bahwa masing-masing individu mempunyai bakat dan keberuntangan alami yang berbeda. Ada sebagian individu yang mempunyai bakat dan keberuntungan alami yang baik, sementara ada sebagian lainnya yang mempunyai bakat dan keberuntungan  kurang bagus. Berdasarkan bakat dan kemampuan yang menguntungkan tersebut suatu pihak dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, sementara pihak lain hanya puas dengan apa yang mereka dapatkan. Karena itu, mereka tidak bisa diberikan fasilitas dan kebebasan yang sama. Tegasnya, interpretasi ini tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah keadilan.
(2) Kesamaan Bebas (KB).
Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pertama (KA). Koreksi dibuat dengan memperluas prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1), menjadi kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Hasilnya, dengan pengandaian prinsip I, system KB merupakan perpaduan antara prinsip efisiensi (a.1) dengan kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Dengan interpretasi seperti ini, persoalan tentang adanya bakat-bakat dan kemampuan yang berbeda dapat diatasi. Yaitu, misalnya, diberikan sarana dan latihan yang lebih pada bakat-bakat yang kurang guna mengejar dan memperoleh kedudukannya dalam sosial, sehingga bisa menghindari kesewenang-wenangan.
Namun, Rawls juga masih keberatan atas interpretasi model kedua ini. Alasannya, KB belum memberikan batasan yang jelas dan tegas tentang konsep “tidak membawa kerugian pada orang lain”. Akibatnya, KB masih tidak berbeda dengan KA dan program pemberian sarana serta pelatihan dalam rangka memberikan prospek bagi mereka yang secara alami kurang beruntung menjadi percuma. Artinya, keuntungan pihak-pihak tertentu masih banyak dipengaruhi oleh loteri alam dan keberuntungan.  Karena itu, perlu interpretasi baru yang selain memberikan prospek yang sama pada pihak-pihak yang berbeda juga memperhatikan tuntutan perkembangan bagi mereka yang kurang beruntung oleh alam.
(3) Aristokrasi Alam (AA).
Interpretasi ketiga ini merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1). Secara teoritis, system AA sudah mengajukan tuntutan bagi perkembangan dari yang kurang beruntung. Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu masih diserahkan pada kebaikan hati yang beruntung tanpa ada aturan tegas dan sangsi. System ini menerapkan prinsip “noblesse oblige” (darah kebangsawanan membawa kewajiban). Artinya, mereka yang beruntung secara nasib dibiarkan memperoleh kekayaan yang besar karena nantinya mereka berkewajiban untuk membantu dan menaikkan nasib kelompok yang secara alamiah kurang beruntung. Di tanah air, system ini agaknya pernah diterapkan pada masa orde baru. Saat itu, para konglomerat diberi modal dan kesempatan besar dengan harapan bahwa setelah berhasil mereka diharapkan akan membantu usaha kaum usaha kelas menengah dan kecil.
Rawls tidak sepakat juga dengan system ketiga ini. Menurutnya, system ini masih memberi peluang pada kesewenang-wenangan. Sebab, hanya berdasarkan kebaikan hati tanpa aturan yang tegas dan sangsi, tidak ada jaminan bahwa system ini akan berjalan seperti yang diharapkan. Selain itu, pembagian kekayaan dalam system ini masih sangat ditentukan oleh mereka yang secara alamiah beruntung.   Kenyataan yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru juga menunjukkan  kebenaran analisa Rawls ini.
(4) Kesamaan Demokratis (KD).
System KD ini dibangun untuk mengatasi kelemahan-kelemahan system sebelumnya sekaligus menggunakan kelebihan-kelebihannya, khususnya system KB dan AA. Dari KB diambil keunggulan “prospek yang sama” sedang dari AA diambil keunggulan “memperkembangan mereka yang secara alamiah kurang beruntung”. Artinya, system KD merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2).
Bagaimana kedua prinsip ini digabungkan? Menurut Rawls, tuntutan bahwa yang beruntung harus berperan dalam mengembangkan prospek bagi mereka yang kurang beruntung, dilakukan dengan cara menyediakan sarana dan pelatihan. Yaitu, mereka yang beruntung wajib menyediakan dana untuk penyediaan sarana dan pelatihan bagi kalangan yang kurang beruntung dalam rangka meningkatkan kemampuan dan menyamamakan prospek. Dengan ketentuan ini, kesewenang-wenangan dalam pembagian kekayaan bisa diatasi.  Ini merupakan interpretasi yang terbaik dari sistem keadilan, dan Rawls berharap sistem kesamaan demokratis (KD) ini bisa menjadi pedoman untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan terpenuhinya keadilan sebagaif airness.
Dalam akhir tulisan ini disampaikan beberapa tanggapan berkaitan dengan
teori keadilan sosial Rawls.
       1. Berkaitan dengan peta pemikiran etika di atas, teori keadilan Rawls agaknya berada dalam persoalan tarik menarik antara keadilan & kebebasan, dan antara hak dan kewajiban, yang merupakan sub-bagian dari pembahasan soal etika sosial.
       2. Dari sisi teoritis, apa yang disampaikan Rawls sebenarnya menarik. Ia membangun teorinya sebagai alternatif atas perilaku etika utilitarian yang dianggap tidak berkeadilan. Namun, teorinya agaknya hanya benar-benar sebuah teori yang tidak banyak bersinggungan dengan fakta sosial, sehingga sulit diaplikasikan meski telah diberikan interpretasi keadilan secara lebih kongkrit. Bagaimana cara membagi kesempatan secara fair, misalnya. Ini adalah sesuatu yang sulit karena menyangkut kekuatan motivasi dan rencana hidup masing-masing orang yang berbeda. Spenello menyatakan bahwa teori keadilan Rawls hanya mimpi.
       3. Dari sudut teknis sebuah teori keadilan, teori Rawls juga patut dipertanyakan. Soal gagasan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorenca), khususnya. Ini sulit diterima nalar dan bahkan sulit dibayangkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang diasumsikan rasional, yang harus tahu benar tentang kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain, persoalan politik dan seterusnya tetapi pada waktu yang sama dituntut juga untuk tidak tahu tentang diri sendiri dan masyarakatnya. Dituntut tidak boleh tahu tentang bakat alaminya, tentang kepentingan dan tujuan hidupnya, bahkan jenis kelaminnya. Seperti ditulis

Menurut  Robert Paul Wolff, teori keadilan Rawls ini tidak dapat diterima oleh filsafat  ilmu pengetahuan. Karena  :
      1. Berkaitan dengan makna keadilan. Keadilan –sebagaimana juga ditulis Wallance Matson44-- adalah persoalan benar dan salah, tetapi Rawls justru memberikan prinsip kebebasan. Kebebasan bukan paradigma keadilan melainkan berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut dengan kompetisi soal ekonomi dalam kehidupan sosial. Kenyatannya, Rawls justru lebih banyak berbicara tentang distribusi kekayaan. Karena itu, Rawls sesungguhnya tidak mendiskusikan tentang keadilan melainkan distribusi kekayaaan.
       2 Berkaitan dengan kerangka dasar teori yang digunakan. Menurut Rawls, ia membangun teorinya berdasarkan kerangka teori Locke, Rousseau dan Kant. Khusus tentang teori Kant, ia mendasarkan ethikanya pada tiga prinsip; otonomi, imperatif kategoris dan rasionalitas. Akan tetapi, Rawls justru membuat asumsi dasar masyarakat dengan veil of ignorence dan original position. Menurut Oliver Johnson,45 ini terjadi mungkin karena Rawls salah memahami prinsip-prinsip dasar etika Kant di atas, sehingga ia bukan Kantian melainkan justri anti-Kantian.
       3. Berkaitan dengan konsep Rawls tentang keluarga sebagai lembaga pendidikan keadilan, muncul persoalan, bagaimana dengan tradisi kurang terdidik dan terbelakang, dalam arti biasa hidup dalam kekerasan. Keluarga seperti ini sulit diharapkan mampu memberikan pendidikan keadilan karena terbiasa dalam kekerasan dan penindasan. Konsep Rawls ini juga akan terbentur dengan model tradisi yang berbeda, atau tradisi yang tidak menunjang kearah pembentukan masyarakat yang diangankan Rawls


Minggu, 29 Januari 2012

Mataram Undercover

MATARAM  UNDERCOVER
PENELITIAN  TENTANG  PENGARUH RUMAH KOS BAGI TINDAKAN PIDANA DI KOTA MATARAM , PENGGUNAAN  NARKOBA, dan HUBUNGAN SEKS PRA NIKAH   BAGI PELAJAR  DI KOTA MATARAM
OLEH  DR.H ZAINAL ASIKIN,SH,SU


A.    PENDAHULUAN

    Kota adalah pusat segala aktifitas manusia,  baik dalam bidang politik, ekonomi, pemerintahan , pendidikan dan sebagai pusat akulturasi budaya.   Karena membawa berbagai pesona dan harapan , maka acakali kota menjadi tumpuan semua pihak,  sebagai tempat harapan digantungkan, sebagai  asa dan kekecewaan terlantarkan.
    Hiruk pikuk dan gemerlapan kota acapkali  membawa  “ kota “ sebagai pertemuan dua kutub yang berlawanan yaitu kutub  hitam yang melambangkan kekejaman dan kemasiatan, serta berhadapan dengan dunia putih yang  mencitrakan  kesucian dan keuhrawian.   Pilihan  hitam putih terkadang sangat tipis setipis kulit ari,  karena terkadang manusia yang memiliki  hati  putih, ketika menjalani kehidupan kota yang kejam maka “ sang putih “  tergelapar menjadi hitam kelam.  Akan tetapi kadangkali seorang yang menamatkan pendidikannya pada dunia yang hitam dengan menjadi sang perampok dan pencopet, tetapi berubah menjadi sang pendakwah.  Ya  itulah kota yang membawa  berbagai kisah misteri.
    Mataram sebagai sebuah kota, tentunya  tidak lepas`dari fenomena di atas, yaitu fenomena  kehidupan hitam putih yang terkadang sulit untuk dimengerti.  Ada memang secercah harapan dari pemerintah kota untuk menjadikan kota Mataram menjadi  kota yang  “ Maju “  dan “ Religius “.    Sebuah cita cita yang mempesona karena  ingin menciptakan kota yang menampilkan sosok yang modern  tapi tidak gemerlap,   maju tapi tidak seronok,  canggih tapi tidak  ruwet,   ramai  tapi  tertib,   kaya tapi secara halal… dan berbagai impian yang berada pada dimensi yang berlawanan.  Bisakah  ?  itulah pertanyaan yang selalu terngiang.
    Gagasan  membuat Perda Anti Maksiat,   Perda Miras, Perda Rumah Kos  adalah  contoh sebuah perjuangan  untuk menciptakan sebuah kota yang bersih dari kemaksiatan, sebuah kota yang maju tanpa minuman keras, sebuah kota yang tanpa perlu tempat esek esek.  
    Gagasan itu tentunya tidak akan berhasil tanpa didukung partisipasi semua lapisan masyarakat.  Oleh sebab itu tulisan dan hasil penelitian ini merupakan salah satu gambaran Kota Mataram yang semestinya tidak boleh terjadi untuk menjadikan kota ini menjadi kota IBADAH.
    Tulisan dbawah ini merupakan hasil penelitian dengan mempergunakan metode partisipastif  atau terlibat langsung untuk mengetahui kehidupan Mahasiswa dan Pelajar i Mataram dengan  berbagai  penomena yang ada didalamnya  yang dibagi dalam 3 karegori  yaitu :
a.    Penomena Rumah Kos;
b.    Penomena Penggunaan Narkoba
c.    Penomena Sek Pra Nikah.

B.    METODE PENELITIAN

B.1.   Tipe penelitian :   penelitian ini bersifat eksploratif untuk menggali persoalan persoalan yang terjadi berkenaan dengan tema penelitian secara mendalam, dan penggalian ini dibutuhkan waktu  berbulan bulan untuk satu responden penelitian agar terungkap dan diperoleh jawaban yang dapat dipercaya ;

B.2. Metode Pengumpulan data/Informasi

a.    Partisipastif  ( berusaha berkenalan dengan korban dan pelaku) dan secara investigasi secara  diam diam mewawancarainya ;
b.    Metode observatif.( melakukan pemindaian lokasi lokasi berpura pura sebagai pengunjung)
c.    Metode terlibat (  harus ikut kos untuk memantau kegiatan sasaran)
d.    Snow Bolling Metode, metode berantai dari teman ke teman untuk megetahui kelompok sasaran (  melalui  Internet, Face Book, HP, SMS, )


B.3..  Lokasi Penelitian

    Penelitian dilakukan di Kota Mataram dengan memilih secara purposive terhadap  beberapa   rumah kos yang berada di Kecamatan Mataram, Cakranegara dan Ampenan.  Dan dilakukan penelitian terhadap 8 hotel Melati di Kota Mataram;

B.4. Waktu Penelitian : penelitian ini  dilakukan dalam tanggang waktu Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2008.

B.5.  Responden

         Dalam penelitian ilmu ilmu social bahwa jumlah ( kuantitas ) responden tidaklah menjadi ukuran yang utama.  Tetapi yang lebih penting adalah kualitas responden.  Berpijak dari pandangan di atas maka responden yang ditemukan dalam penelitian sebanyak  150  responden terdiri dari,  Pemuda Putus Sekolah,     Mahasiswa,  Pelajar  SLTA  dan  Pelajar SMP.
    Untuk memperoleh para responden tersebut  dipergunakan system snow bowling  system dengan mencari hubungan satu responden dengan responden yang lain yang tergulir sehingga ditemukan beberapa responden dari satu responden ke responden yang lain.

B.6.  Analisis

    Berdasarkan data yang terkumpul kemudian diadakan analisi secara mendalam dengan  conten analysis.  Dengannalisis isi tersebut berhasil dibuat laporan yang terangkai seperti tersebut dalam laporan penelitian ini.      
               

C.    HASIL  PENELITIAN

1.    MISTERI  RUMAH KOS KOSAN

Rumah kos kosan diberbagai daerah telah menjadi suatu masalah yang serius untuk segera diatasi, karena telah menyangkut kepentingan bangsa khusunya  menyangkut pembangunan mental dan moral generasi muda.
Dalam suatu tulisan dan hasil penelitan di Purwokerto telah diungkap bahwa rumah kos telah dijadikan sarang perbuatan yang tidak bermoral antara generasi muda yang berlainan jenis.
Pada rumah kos-lah dua orang anak muda yang  sedang berpacaran dapat secara bebas melakukan hubungan suami isteri tanpa ada yang mampu melarang dan memberikan sanksi.  Bahkan secara gambling ditulis bahwa  seks bebas sudah meng gejala di kalangan mahasiswa di Purwkerto sehingga muncul istilah pacarku adalah bojoku ( lihat tulisan Masardy dengan judul Fenomena Anak Kost,  Pacarku Bojoku, Masardycom, tanggal 16 Juli 2010).
Tulisan  yang sama  juga dapat dibaca  dari artikel saudara  Arif Fajar Ardianto dengan menyatakan “ …sudah menjadi rahasia umum, di beberapa wilayah, terutama di tengah kota Surabaya, bermunculan rumah kos yang menawarkan fasilitas yang menggiurkan, yakni terjaminnya privasi, serta kebebasan penuh terhadap penyewa untuk memasukan pasangan yang bukan mukhrimnya
( Tulisan dari Arif Fajar Ardianto, tanggak 17 September 2010, ,Beritajatim.com).
    Berdasarkan  kenyataan di atas maka menjadi tantangan bagi kita di Mataram, bagaimanakan dampak maraknya pembangunan rumah kos dalam perspektif pembanguna moral.
 Pembangunan rumah rumah kos di Kota Mataram dalam 10 tahun  terakhir  ini telah menjamur seiring dengan pesatnya kebutuhan masyarakat yang memamfaatkan rumah sebagai sarana mencari nafkah.   Sisi lain bahwa pangsa pasar kos kosan menjadi kebutuhan yang mendesak akibat banyaknya pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan  rumah kos (terutama bagi mahasiswa yang berasal dari luar daerah).
Rumah kos sebenarnya  memiliki sisi positip dalam rangka membantu kebutuhan masyarakat sepanjang keberadaan rumah kos mememenuhi persaratan hukum ( pendiriannya memenuhi Ijin Lokasi maupun IMB  untuk mendirikan rumah kos), maupun  operasionalnya (setelah berjalan /beroperasi)  mendapat pengawasan yang efektif dari pemiliknya, misalnya dengan melakukan seleksi calon penghuni), pengawasan secara rutin terhadap keberadaan dan aktifikitas penghuni.
Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan ternyata keberadaan rumah kos acapkali dipergunakan untuk kebutuhan dan kegiatan yang negative  yaitu :


a.    Sebagai  Rumah Transaksi Narkoba

Hasil penelusuran penulis di beberapa tempat kos kosan di Kota Mataram ternyata tempat kos kosan sebahagian besar dipergunakan untuk  pesta sabu sabu oleh para pemakai barang haram.  Hal ini dapat terjadi karena  pada rumah kos kosanlah yang dipandang sebagai tempat  yang paling aman untuk melakukan trasaksi dan pemakaian obat obat terlarang.   Pola penghunian rumah kos  yang “ bebas “  tanpa kontrol dari pemilik rumah kos menyebabkan rumah kos bukan lagi sebagai tempat yang  “ bergengsi “ sebagai tempat menitipkan anak anak yang melanjutkan studi. Tapi justru akan menjadi ancaman bagi orang tua yang menyekolahkan anak anaknya jika tidak pandai memilih rumah kos.


     Sebagai sarana kumpul kebo  Para Remaja dan Kaum Muda.

Rumah kos kosan di Kota Mataram yang tumbuh berkembang secara pesat pada awal tahun 80 an dan sampai sekarang menjamur di beberapa sudut kota Mataram, telah  mengancam  “  kehidupan moral “  anak anak muda di Kota Mataram.   Betapa tidak berdasarkan hasil investigasi penulis di beberapa rumah Kos yang berlokasi di Cakranegara, Ampenan dan Mataram, terdapat rumah rumah kos dihuni oleh sepasang laki laki dan perempuan yang tidak terikat dalam ikatan suami isteri.  Yang mengejutkan bahwa mereka ada yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa secara bersama sama menyewa rumah kos tersebut padahal mereka memiliki orang tua yang sekota. Artinya bahwa para remaja  menyewa rumah kos adalah sebagai tempat pertemuan di siang hari sepulang sekolah sampai sore, dan mereka tidak mempergunakanya pada malam hari.

b.    Rumah Kos  Sebagai  sarana  Penyimpanan istri pejabat

Penomena lain yang ditemui penulis dalam penelitian bahwa rumah kos di Kota Mataram pada beberapa tahun terakhir ini dipergunakan sebagai tempat tinggal “isteri simpanan “  beberapa kalangan eksekutif di NTB.    Kata eksekutif disini dimanakan sebagai kalangan “ pejabat  baik yang berada pada posisi tertentu di dunia usaha, para legislator dan  lembaga lainnya  yang berasal bukan saja dari NTB  tapi dari luar NTB “.   Hal ini bias terjadi karena jika mereka menyewa hotel dengan tariff Rp. 300.000 sampai Rp.800.000  per malam, maka dengan uang sejumlah itu mereka bisa menyewa rumah kos untuk satu bulan. Tentunya lebih irit.

c.    Rumah Kos  Sebagai sarana penampungan Pekerja Seks Komersial .

Jika  pada era tahun 80 han para pekerja seks komersial  biasanya  ditampung oleh kalangan hidung belang disebut dengan istilah “ germo “.   Pola penampungan ini ternyata dirasakan oleh para germo  tidak aman seiring dengan semakin seringnya razia ketampat rumah germo tersebut.  Para germo di Kota Mataram yang dulu bernama D , H, dan S  sehingga julukan ini diplesetkan menjadi Kompi D, Kompi S dan Kompi H.
Pola pola konvesnional tersebut kemudian oleh para germo beralih dengan menjajakan barang dagangannya alias ayamya dengan menaikkan ke dalam mobil dan diparkir di tempat tempat tertentu.   Kemudian para hidung belang dapat melihat langsung ke dalam mobil yang diparkir wanita wanita yang ingin dipilih.
Seiring dengan perjalanan waktu dan semakin canggihnya alat komunikasi berupa Hand Phone dingan Face Book, maka pola konvensional maka para penjaja cinta tidak mau terikat oleh germo karena para germo seringkali memang memeras para wanita penjaja cinta dengan bagian 60 % untuk germo dan 40 % untuk anak buahnya.   Oleh sebab itu memasuki era tahun 2000 maka  para wanita penjaja cinta lebih senang memilih membuat jaringan pemasaran sendiri yang terikat germo dan akhirnya mereka tinggal di rumah kos.    Para pekerja seksual kemudian membuat jaringan dengan mempergunakan petugas hotel sebagai “ jasa penawaran “ jika ada laki laki yang  membutuhkan.

d.    Rumah Kos Sebagai Tempat Penampungan Barang Hasil Kejahatan.

Modus baru  pengguaan rumah kos adalah tempat bersembunyinya para aktor atau pelaku pencurian dan sekaligus ssebagai tempat penyembunyian barang barang hasil hasil kejahatan.
Digunakan rumah kos kosan sebagai tempat persembunyian karena rumah kos dirasa aman karena tidak dilakukan pengawasan oleh pemilik, para aparat pemerintahan dari tingkat RT  sampai Kecamatan . Kondisi ini juga didukung oleh tidak adanya saling komunikasi masing masing penghuni ( saling tidak mengenal satu sama lain, bahkan satu sama lain saling tidak perduli), semakin memudahkan para pelaku kejahatan menyembunyikan identitas dan menyembunyikan hasil hasil kejahatan berupa sepeda motor, alat alat elektronika, hp dan sebagainya.

2.  Mengapa  Rumah Kos Disalah Gunakan ?

Penggunaan  rumah kos sebagai tempat (lokasi) kumpul kebo pergaulan sek bebas  pelajar dan mahasiswa , dan sebagai tempat pemakaian  obat obat  terlarang. diakibatkan oleh berepa hal :

a.  Tidak adanya prosedur yang ketat dalam menyeleksi calon penghuni kos, yang menyangkut KTP dan Kartu / Surat Nikah;
b.  Tidak adanya pengawasan terhadap penghuni oleh pemilik rumah kos sehingga penghuni bebas melakukann transaksi kegiatan negative.
c.  Tidak adanya  pengawasan maupun tindakan dari Pemerintah daerah terhadap pengelola/pemilik rumah kos yang melanggar ketentuan hukum yang menyangkut rumah kos ;
d.    Lemahnya  peran dan aparat penegak hukum dalam melakukan penertiban rumah kos;

  
3.    PEREDARAN DAN PEMAKAIAN  NARKOBA  BAGI KALANGAN  PELAJAR  DAN MAHASISWA  Di KOTA MATARAM


Persoalan penggunaan obat obatan ( Narkoba) telah menjadi ancaman yang serius bagi gerenasi muda , pelajar dan mahasiswa di Kota Mataram.   Penelitian selama 2  tahun menunjukkan penggunaan Narkoba bagi kalangangan remaja ( pemuda, mahasiswa dan pelajar ) telah meningkat dengan tajam.
Dari 150 Responden yang diwawancari ternyata sekitar 47 % telah pernah menggunakan narkoba. 
Pada awalnya peneliti menemukan beberapa generasi muda ( putus sekolah) yang menggunakan obat obatan sejenis “ pil ectasi, ganja dan sabu sabu “  di tempat hiburan malam ( bar/cafĂ©, dan tempat tempat kos kosan).
Namun pada perkembangan berikutnya, penggunaan  Narkoba ternyata telah merambah ke kalangan Mahasiswa, Pelajar SMU  dan  Pelajar SLTP.

Penggunaan  obat obatan tersebut disebabkan oleh beberapa hal :

b.    Karena mencoba coba  dikasi oleh teman (pola pertemanan)  (17 %);
c.    Karena membeli dari Bandar  narkoba ;(23 %)
d.    Karena di berikan oleh aparat dan bersama sama aparat memakai obat tersebut (13 %);
e.    Dikasi oleh pacar dan memakai bersama sama  (Pola pacaran) ( 47 %)

Transaksi obat obatan tersebut di atas menurut para responden biasanya dilakukan secara sembunyi sembunyi melalui sindikat pengedar , melalui Bandar, dari teman ke teman  , dan bahkan dapat dilakukan melalui perantaraan oknum aparat kepolisian   ,  yang harganya sekitar  200.000/ gram ( Tahun 2009)  yang sebelumnya sekitar 500.000/gram tahun  ( 2004-2007). Dan pada tahun terakhir ini penjualan satu paket seharga  Rp. 4.000.000 pergram yang dibagi menjadi beberapa poket (lintingan kecil kecil) dengan harga Rp. 500.000,-
Transaksi jual beli narkoba yang awal mulanya melalui Bandar Bandar tertentu yang  harus dicari oleh pelanggan melalui jaringan pertemanan dan bertemu di tepat tempat yang beralih alih pada setiap transaksi. Maka pada bebarapa tahun belakangan ini transaksi narkoba dilakukan melalui modus modus lain, yaitu para Bandar narkoba menitipkan barang dagangannya melalui warung warung diinggir jalan yang menjual bebarapa jenis makanan, mainan, dan kembang api.  Para peminat biasanya menilpon atau menghubungi para pemilik warung dengan mengatakan bahwa nantinya ada orang yang mau membeli barang terseut dengan menyebutkan jenis kelamin orang yang mau membeli, kendaraan yang akan dipakai dengan plat nomernya, kemudian dengan  menyebutkan cirri cirri pakaian yang memudahkan pemilik warung melayani. Karena tidak semua orang dapat dilayani untuk membeli barang haram tersebut.

4.    FENOMENA  VIRGINITAS  PELAJAR DAN MAHASISWA
DI KOTA MATARAM

Kita tersentak dengan hasil survei BKKBN yang baru dilansir di beberapa media baru-baru ini. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, termasuk kota Medan. Hasilnya 51% pelajar Jakarta melakukan hubungan sek pra-nikah, bahkan di Metro TV,  sebelum HASIL SURVEI  ini dianalisis , memberitakan trend peningkatan pembelian kondom di kalangan pelajar.

Satu sisi merupakan indikator meningkatnya kesadaran pelajar kita terhadap bahaya penyebaran HIV/AIDS. Tetapi kecenderungan pembelian kondom oleh  rata-rata remaja usia sekolah menjadi fenomena tersendiri yang harus disikapi bijak dan protektif. Tentu saja hasil survei yang menempatkan kota Medan sebagai kota yang paling banyak pelajarnya melakukan seks pra-nikah patut memprihatinkan kita, karena 52% pelajar kita sudah tidak perawan (tidak virgin)

Ada beberapa catatan penting yang dapat saya simpulkan:
 pertama; globalisasi sebagai konsekuansi dari moderenisasi telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap sikap dan perilaku remaja dan pelajar ditanah air. Bahaya negatif yang lazim timbul harus disikapi dengan cermat.
 Kedua; hasil survei yang ada tidak boleh dibiarkan saja hanya sebagai berita tanpa adanya action (tindakan) dari semua pemangku kepentingan. Sebab masalah moralitas remaja merupakan masalah bersama dan kita tidak boleh hanya saling menyalahkan sebab hanya memperlambat upaya penanganan.
Ketiga; betapa bobroknya moral anak-anak kita. Bayangkan di setiap malam pergantian tahun, sebagian besar remaja kita menghabiskan waktu dengan melakukan seks. Ini dibuktikan dengan kecendrungan meningkatnya pembelian kondom. Bahkan pada malam pergantian tahun 2009 di beberapa harian memberitakan banyak apotik kehabisan stok persedian kondom karena trend banyaknya permintaan yang kebanyakan oleh para remaja kita. Silakan kita perhatikan fenomena sekarang, Warnet menjadi tempat konsentrasi remaja, yang notabenenya merupakan basis pemicu pergaulan seks. Tempat-tempat hiburan malam menjadi tempat yang selalu ramai dikunjungi, silahkan kita survei sendiri siapa yang paling banyak di sana. Hotel-hotel kelas melati yang ada di Medan kebanjiran pengunjung di hari dan momen-momen tertentu.
Keempat; bagi sebagian besar remaja ditanah air, tidak terkecuali Medan. Keperawanan tidak menjadi sesuatu yang terlalu penting, boleh jadi karena memang jaman sudah “edan”, atau ada pergeseran nilai di masyarakat bahwa masalah keperawanan tidak menjadi aspek penting dalam sebuah pernikahan.

Bagi sebagian masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tentu saja fenomena seks pra-nikah tidak dapat dibenarkan, sekaligus harus mengelus dada sembari menarik napas dalam-dalam. Betapa tidak, di negara tercinta yang merupakan Muslim terbesar di dunia, dan menjadikan pancasila sebagai dasar negara--yang sejak zaman nenek moyang menganut sistim nilai kesusilaan yang kental--rasanya kita miris menyaksikan fenomena ini ( Baca  “Virginitas pelajar, Tanggung Jawab siapa ?, Waspada Online, tanggal 29 Desember 2010).

Pergaulan bebas (pornografi dan pornoaksi). Seiring dengan derasnya arus globalisasi, yang menjadikan dunia ini semakin sempit, maka di waktu yang sama hal itu akan membawa sebuah konsekwensi; baik positif atapun negatif. Kita tidak akan membicarakan mengenai konsekwensi positif dari globalisasi saat ini. Karena hal itu tidak akan membahayakan rusaknya moral generasi muda. Namun yang menjadi perhatian kita adalah efek atau dampak negatif yang dibawa oleh arus globalisasi itu sendiri yang mengakibatkan merosotnya moral para remaja saat ini.
Bahkan bukan merupakan hal yang tabu lagi di era sekarang ini, hubungan antar muda-mudi yang selalu diakhiri dengan hubungan layaknya suami-isteri atas landasan cinta dan suka sama suka. Sebuah fenomena yang sangat menyedihkan tentunya ketika prilaku semacam itu juga ikut disemarakkan oleh para muda-mudi yang terdidik di sebuah istansi berbasis agama. Namun itulah fenomena sosial yang harus kita hadapi di era yang semakin bebas dan arus yang semakin global ini.
Pertumbuhan budaya seks bebas di kalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Pemerintah menemukan indikator baru yakni makin sulitnya menemukan remaja putri yang masih memiliki keperawanan (virginity) di kota-kota besar  seperti telah dikutip pada awal tulisan ini.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasar survei menyatakan separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks pranikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah. Rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun.
“Berdasar data yang kami himpun dari 100 remaja, 51 diantaranya sudah tidak lagi perawan,” Ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief ketika ditemui dalam peringatan Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Minggu (28/11) kemarin.
Ironisnya, temuan serupa juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain. Di Surabaya misalnya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen.
Menurutnya, data ini dikumpulkan BKKBN sepanjang kurun waktu 2010 saja. “Ini ancaman yang diam-diam bisa menghancurkan masa depan bangsa, jadi harus segera ditemukan solusinya,” ujar Sugiri.  Maraknya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja berimbas pada kasus infeksi penularan HIV.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi melempar wacana agar penerimaan siswa baru mulai dari tingkat SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, bagi siswa perempuan harus melalui tes keperawanan. Tes tersebut dilakukan dengan tujuan menangkal banyaknya hubungan seks bebas di kalangan pelajar.

"Wacana ini diharapkan bisa menangkal hubungan seks bebas di kalangan pelajar. Dengan adanya atuiran ini diharapkan menciptakan budaya malu bagi kalangan pelajar, sehingga takut melakukan hal perbuatan yang dilarang oleh agama tersebut," kata Bambang Susatyo, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi, kepada wartawan Rabu (22/9).
Disisi lain, perkembangan teknologi yang semakin canggih, akan semakin memudahkan para remaja untuk mengakses hal-hal yang mendukung terciptanya suasana yang serba bebas. Hal-hal yang dahulu di anggap tabu dan masih terbatas pada kalangan tertentu, kini seakan sudah menjadi konsumsi publik yang dapat diakses di mana saja. Sebagai contoh konkrit adalah merebaknya situs-situs berbau pornografi dapat dengan mudah dikonsumsi oleh para pengguna internet. Memang di satu sisi tidak bisa dinafikan, bahwa internet memberikan kontribusi besar dalam perkembangan moral dan intelektual. Akan tetapi dalam waktu yang sama, internet juga dapat menghancurkan moral, intelektual dan mental generasi sebuah negara. berdasarkan penelitian tim KPJ (Klinik Pasutri Jakarta) saja, hampir 100 persen remaja anak SMA, sudah melihat media-media porno, baik itu dari situs internet, VCD, atau buku-buku porno lainnya, (Harian Pikiran Rakyat, minggu 06 juni 2004).
Persoalannya adalah bagaimanakah fenomena virginitas terhadap para pelajar dan mahasiswa di kota Mataram ?
Dari hasil penelitian dan wawancara mendalam terhadap 150  responden maka diperoleh data sebagai  berikut :

Responden      Jumlah     Virgin (58 %)    Tidak Virgin   (42 %)   
SLTP    50  orang    39    11     
SMU    50 orang    27    23     
MAHSISWA    50  orang    21    29     

Angka di atas tentunya cukup mengejutkan bagi kita dimana angka “ ketidak perawanan “ terhadap pelajar dan mahasiswa di  Kota Mataram cukup banyak yaitu 22 %  untuk pelajar SLTP,  46 % untuk  anak SMU  dan  58 %  untuk mahasiswa.. Sehingga rata rata angka ketidak perawanan  menjadi 42 % atau berada  diatas angka rata rata  Yogyakarta ( 37 %)  atau berada dibawah Kota Bandung  (47 %).
Adapun penyebab dari para remaja  dan mahasiswa tersebut  melakukan hubungan nikah disebabkan beberapa hal :
1.    Karena dalam keadaan tidak sadar terpengaruh oleh pemakaian  Narkoba ;
2.    Karena bujuk rayu ketika pacaran
3.    Karena faktor ekonomi keluarga
4.    Karena  stress/ frustrasi

Kemajuan tehnologi dan informasi disatu segi memberikan dampak positif bagi generas muda kita,karena dengan kemajuan  iptek tersebut kita dapat dengan mudah  dapat  mengakses berbagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan.  Akan tetapi dampak tehnologi  ternyata mengancam  moral  generasi muda  jika  tidak  dibentengi oleh iman dan moral yang kuat.
Dengan munculnya  berbagai perangkat tehnologi seperti computer dan hand phone dengan berbagai merek  dan dengan berbagai harga maka akan mempengaruhi  minat dan sikap generasi muda kearah yang “ konsumtif “.    Bagi generasi muda yang orang tuanya mampu maka  “ memiliki  perangkat lap top dan HP “  bukan persoalan yang mudah.  Tetapi bagi generasi muda yang  orang tuanya tidak mampu maka  “ keinginan untuk memiliki HP dan Perangkat Komputer lainnya menjadi godaan tersendiri.   Maka tidak heran beberapa responden yang diwanwancarai oleh penulis secara mendalam yang terdiri dari para pelajar (SLTP), para pelajar SLTA, dan  Mahasiswa  rela  mengorbankan  mahkotanya  yang paling berharga hanya semata untuk memperoleh  perangkat perangkat tersebut (Hp. Laptop, dll).   Kemudian dengan perangkat yang mereka miliki kemudian mereka akhirnya melanjutkan kegiatannya baik yang positif maupun yang negative.
Jika pada dekade tahun 80 han  penomena ketidak perawanan pelajar dan mahasiswa semata mata disebabkan oleh mulai maraknya pergaulan bebas ( berpacaran dengan cara cara  yang diluar norma agama). Maka  memasuki era tahun 2000 sampai sekarang  maka  penomena yang mengancam generasi muda adalah mengorbankan mahkotanya yang paling berharga hanya untuk memperoleh perangkat tehnologi informatika sebagai symbol kemapanan., dan penggunaan narkoba yang menyebebkan mereka tidak sadar karena sakau.

KESIMPULAN  DAN SARAN

A.    KESIMPULAN

1.    Maraknya pembangunan rumah kos di Kota Mataram yang tidak diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang memadai akan mengakibatkan penggunaan rumah kos kosan sebagai tempat kegiatan yang melanggar hokum ( sebagai tempat pesta narkoba, sebagai tempat hidup bersama tanpa ikatan suami isteri generasi muda, sebagai tempat penampungan isteri simpanan, sebagai lokasi tempat kediaman penjaja seks komersial yang  aman).
2.    Kemajuan tehnologi dan informatika yang sebenarnya memberikan dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata disisi lain dapat  menjadi salah satu pemicu terjadinya tindakan negative bagi generasi muda demi sebuah harga diri  yang hidup konsumtif.
3.    Penggunaan obat obat terlarang bagi generasi muda di Kota Mataram telah menjadi ancaman karena   47 %  responden telah pernah menggunakan barang terlarang tersebut.
4.    Tingginya angka ketidak perawanan (42 %)  bagi  pelajar dan mahasiswa merupakan dampak dari lemahnya pengawasan orang tua, sehingga pelajar dan mahasiswa begitu mudah dapat mengkosumsi narkoba dan selanjutnya dapat melakukan hubungan seks pra nikah.

B.    SARAN SARAN

1.    Perlunya pengaturan pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan rumah kos di Kota Mataram yang melibatkan seluruh elemen pejabat terkait dan komponen masyarakat.   Peraturan Daerah yang mengatur rumah kos harulah menjadi kebutuhan yang mendesak.
2.    Perlunya penyadaran bagi orang tua dan lembaga pendidikan tentang bahaya yang mengancam  generasi muda atas lahirnya sikap konsumtif. Oleh sebab itu pengawasn orang tua  dan lembaga pendidikan terhadap anak anak didik merupakan langkah yang mendesak yang perlu digiatkan.
5.    Pemberantasan Narkoba di Kota Mataram haruslah dilakukan secara terpadu seluruh masyarakat.   Menggantungkan pemberantasan narkoba kepada aparat semata mata akan menjadi sia sia karena dalam beberapa kasus ternyata oknum aparat juga terlibat dalam pemakaian barang haram tersebut.

6.  Pola penanganan terhadap permasalahan di atas harus  dilakukan secara  Preventif, Represif,  pendekatan Formal dan Non Formal, serta secara  Integratif.

Kamis, 26 Januari 2012

Sabda Pandito Ratu dan Kantor Bupati Bima Dibakar


Kisah  Kabupaten Bima dan Yogyakarta
0leh DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH, SU

A.Pengantar
Ketika tulisan ini saya buat, konon saya mendapat BBM bahwa Kantor Bupati Bima dibakar massa sampai luluh lantak.  Saya tidak tahu persis yang membakar dan apa penyebab aksi pembakaran itu.  Saya hanya mampu mengira ngira bahwa penyebabnya mungkin masih sekitar ketidak puasan masyarakat Sape yang merasa terancam dengan rencana pembangunan tambang, dan masih sekitar  kekecewaan masyarakat yang harus menjadi korban keganasan polisi di Pelabuhan Sape.
            Pikiran saya menerawang ketika sekolah di Yogya , betapa Sri Sultan begitu sangat dihargai dan dihormati oleh rakyatnya. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X  kuliah di Fakultas Hukum UGM,  manakala Sri Sultan masuk ruangan kuliah  semua mahasiswa berdiri menyambut kedatangannya , tidak kecuali dosen pengajar harus ikut berdiri. Itulah bentuk kesetiaan rakyat Yogya pada rajanya. Sehingga nyaris tidak pernah ada demo mendemo yang ditujukan kepada Gubernur (Sri Sultan), paling paling demo hanya ada di kampus dan mendemo rektor.
            Kondisi ini kontras benar dengan Bima, yang rakyatnya selalu mendemo Bupati yang nota benenya adalah Raja Bima atau akhli waris tahta kerajaan yang sebenarnya hampir sama dengan Sri Sultan HB.X yang juga  akhli waris Keraton Yokya.
            Apa yang terjadi.  Mungkinkah ada yang keliru dalam sikap, tindak, laku, dan budi dari Ferry Zulkarnaen sebagai Bupati (Raja Bima) sehingga tidak lagi didengarkan rakyatnya ?
 B. Sabda Pandito Ratu   dalam Kasus Bima
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan.


Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu.

Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu.

Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya.
Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya.


Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Nah nampaknya Bupati Bima yang sekaligus Raja Bima agak lupa akan janji setianya bahwa sebagai raja harus tetap setia mengabdi kepada rakyat dan membela rakyat, bukan membela jabatannya,  harus selalu setia pada kata katanya bahwa  pengabdian untuk rakyat, bukan pengabdian untuk pengusaha.   Sabda sang Raja itu rupanya oleh rakyat telah dilalaikan dan  diingkari sehingga rajanya  yang selama ini dianggap pengayom ternyata menjadi musuhnya sehingga tiada kata lain selain  harus melawan dan tidak lagi patuh pada rajanya.
            Raja yang selama ini dianggap sebagai contoh teladan mentaati hukum, ternyata oleh rakyat telah melakukan pelanggaran hukum dan mencederai hati rakyat, sehingga Sabdanya tidak lagi lagi menjadi ” Pandito Ratu ”, tapi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup rakyat.  Itulah sebabnya mungkin penyebab dilakukannya pembakaran atas Kantor Bupati itu.
            Saya berharap raja raja di NTB dan raja raja kecil yang ada di masing masing kabupaten di NTB ini sedikit  meniru sebuah kisah ketulusan dan kejujuran dalam mentaati hukum oleh seorang raja seperti kisah di bawah ini.
C.. Raja Harus Taat Hukum versi Yogya
Suatu pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi posnya di kawasan Soko. Dari arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu. Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.
Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan menolak.
“Ya… saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em… emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak melakukannya.
“Baik… Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil menghibur dirinya.
***
Esok paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan…. Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo sinuwun?”
“Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya, tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang… Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.
***
Suatu sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan kamu diminta pindah!” Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
“Siap, Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur… Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini. Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir Royadin.
Surat itu ditulis tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!


Kisah  Kabupaten Bima dan Yogyakarta
0leh DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH, SU

A.Pengantar
Ketika tulisan ini saya buat, konon saya mendapat BBM bahwa Kantor Bupati Bima dibakar massa sampai luluh lantak.  Saya tidak tahu persis yang membakar dan apa penyebab aksi pembakaran itu.  Saya hanya mampu mengira ngira bahwa penyebabnya mungkin masih sekitar ketidak puasan masyarakat Sape yang merasa terancam dengan rencana pembangunan tambang, dan masih sekitar  kekecewaan masyarakat yang harus menjadi korban keganasan polisi di Pelabuhan Sape.
            Pikiran saya menerawang ketika sekolah di Yogya , betapa Sri Sultan begitu sangat dihargai dan dihormati oleh rakyatnya. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X  kuliah di Fakultas Hukum UGM,  manakala Sri Sultan masuk ruangan kuliah  semua mahasiswa berdiri menyambut kedatangannya , tidak kecuali dosen pengajar harus ikut berdiri. Itulah bentuk kesetiaan rakyat Yogya pada rajanya. Sehingga nyaris tidak pernah ada demo mendemo yang ditujukan kepada Gubernur (Sri Sultan), paling paling demo hanya ada di kampus dan mendemo rektor.
            Kondisi ini kontras benar dengan Bima, yang rakyatnya selalu mendemo Bupati yang nota benenya adalah Raja Bima atau akhli waris tahta kerajaan yang sebenarnya hampir sama dengan Sri Sultan HB.X yang juga  akhli waris Keraton Yokya.
            Apa yang terjadi.  Mungkinkah ada yang keliru dalam sikap, tindak, laku, dan budi dari Ferry Zulkarnaen sebagai Bupati (Raja Bima) sehingga tidak lagi didengarkan rakyatnya ?
 B. Sabda Pandito Ratu   dalam Kasus Bima
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan.


Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu.

Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu.

Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya.
Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya.


Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Nah nampaknya Bupati Bima yang sekaligus Raja Bima agak lupa akan janji setianya bahwa sebagai raja harus tetap setia mengabdi kepada rakyat dan membela rakyat, bukan membela jabatannya,  harus selalu setia pada kata katanya bahwa  pengabdian untuk rakyat, bukan pengabdian untuk pengusaha.   Sabda sang Raja itu rupanya oleh rakyat telah dilalaikan dan  diingkari sehingga rajanya  yang selama ini dianggap pengayom ternyata menjadi musuhnya sehingga tiada kata lain selain  harus melawan dan tidak lagi patuh pada rajanya.
            Raja yang selama ini dianggap sebagai contoh teladan mentaati hukum, ternyata oleh rakyat telah melakukan pelanggaran hukum dan mencederai hati rakyat, sehingga Sabdanya tidak lagi lagi menjadi ” Pandito Ratu ”, tapi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup rakyat.  Itulah sebabnya mungkin penyebab dilakukannya pembakaran atas Kantor Bupati itu.
            Saya berharap raja raja di NTB dan raja raja kecil yang ada di masing masing kabupaten di NTB ini sedikit  meniru sebuah kisah ketulusan dan kejujuran dalam mentaati hukum oleh seorang raja seperti kisah di bawah ini.
C.. Raja Harus Taat Hukum versi Yogya
Suatu pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi posnya di kawasan Soko. Dari arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu. Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.
Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan menolak.
“Ya… saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em… emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak melakukannya.
“Baik… Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil menghibur dirinya.
***
Esok paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan…. Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo sinuwun?”
“Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya, tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang… Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.
***
Suatu sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan kamu diminta pindah!” Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
“Siap, Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur… Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini. Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir Royadin.
Surat itu ditulis tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!

Senin, 23 Januari 2012

Reformasi Politik Yang Biadab


REFORMASI   POLITIK
YANG   BIADAB
Oleh  DR. H. ZAINAL ASIKIN, SH, SU

A.Pendahuluan

            Ketika tahun 1999 saya  turun ke jalan mengajak mahasiswa melakukan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter dan korup,  tidak pernah terpikir bagi saya dan mahasiswa  tentang resiko, meskipun desingan peluru menghujam ke tembok tembok kampus yang sengaja diarahkan oleh aparat keamanan yang “pro Orde Baru “.   Hanya satu yang dipikirkan oleh gerakan reformasi  adalah bagaimana sebuah rezim jatuh dan tergantikan  oleh suasana baru dan  iklim politik baru yang lebih demokratis.
            Dan ahirnya gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, meskipun ketika itu  kaum reformis belum siap dengan konsep Indonesia Baru yang lebih bermartabat,  semua belum siap bagaimana mengelola sebuah Negara yang demokratis, mengelola sebuah kehidupan politik  yang  santun, bagaimana merumuskan nilai nilai kebaruan  yang  beretika, dan membangun kehidupan ekonomi yang menghidupi rakyat.
            Nah sekonyong konyong,  muncul para Rambo Rambo  politik,  para  reformis gadungan (yang dulu tidak pernah terdengar) tiba tiba mengaku sebagai tokoh reformasi Indonesia  yang “  gila dan kemaruk  kekuasaan “   dengan membuat partai  politik, membuat  undang undang partai politik, undang undang susunan dan kedudukan anggota DPR  dan  DPRD   yang memberikan kekuasan  yang  “ super kepada DPR.   
            Oleh sebab itu jika sekarang orang menggembar gemborkan bahwa KPK adalah lembaga super body, maka pernyataan itu salah sama sekali karena  lembaga superbody di Indonesia adalah DPR, karena seluruh pengangkatan apa saja di Indonesia harus persetujuan DPR.    Tidak ada pengangkatan lembaga public tanpa melalui DPR, bahkan Negara Asing jika ingin menempatkan Duta dan Konsulnya di Indonesia harus persetujuan DPR. Ini sudah benar benar  gila.  Tapi itulah  kesalahan awal reformasi politik  yaitu “  ketidak siapan reformasi ini melakukan seleksi awal “  tentang  “ hukum hukum moralitas  dan sumberdaya yang berkualitas “.


  1. Parlemen  Yang Biadab

Salah satu kesalahan awal yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan para reformis gadungan itu adalah sekonyong  konyong membuat undang undang partai politik yang melarang pegawai negeri untuk  berpolitik dan bergabung dalam partai politik, padahal kita tahu sumber daya manusia  yang berkualitas berada di kantor kantor pemerintah, di kampus kampus dan di lembaga non depertemen.   Maka peraturan itu memaksa partai politik melakukan seleksi kader  secara semrawut, asal asalan  dan sama sekali tidak melakukan  seleksi secara ketat apalagi berjenjang karena memang partai politik harus segera berkuasa melalui Pemilu 1999 .
Akibat kesalahan awal ini maka parlemen kita diisi oleh politisi  gadungan, politisi yang kerjaannya tidur, nonton film porno,  atau marah marah pada menteri karena dengan marah tertutuplah kelemahannya. Bagaimana tidak saya melihat ada anggota parlemen yang asalnya dari tukang parkir terminal,  bahkan yang mengejutkan saya ada anggota parlemen daerah berprofesi sebagai mucikari ?   Itulah akibat tidak adanya seleksi yang ketat untuk bisa menjadi kader partai.
  
Parlemen kita tidak lebih sebagai “  pasar “ tempat traksaksi anggaran  yang akhirnya menggeret hampir  seluruh anggota parlemen di Indonesia , dari tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat  masuk pada pusaran “ korupsi yang memalukan “.   Bagaimana dengan eksekutif ?    Eksekutif kita di Indonesia, juga sama saja, dihuni oleh politisi, karena melalui jalur politiklah orang bisa menjadi gubernur, bupati dan walikota.  Kendati jalur independent dibolehkan, tapi jalur ini banyak mengalami jalan berliku yang dibuat oleh politisi.   Akibat lebih jauh adalah hampir di seluruh Indonesia para pimpinan daerah terlibat kasus korupsi yang sangat memalukan.  Yang menyakitkan  sekali bahwa koruptor yang ditangani KPT itu mayoritas berasal dari Partai yang memakai nama Islam.

Rapuhnya mentalitas politisi Indonesia juga disebabkan tidak adanya kaidah kaidah dan etika politik yang dimiliki oleh partai politik, sehingga   begitu mudahnya seorang lompat dari partai politik yang satu ke partai politik yang lain. Padahal partai politik adalah  sebuah  perjuangan idiologi yang  sejatinya  ditanamkan secara  militant pada kader partai. Tapi jika partai politik tidak memiliki adab pengkaderan maka muncullah kader kutu loncat yang sekedar cari untung pribadi, bukan berpolitik untuk membangun kehidupan politik yang lebih  prospektif.

Kondisi kondisi di atas adalah pemicu lahirnya sebuah Parlemen yang biadab dan eksekutif  yang tidak bermartabat, sehingga mereka menjadi bangga jika  berjalan jalan (studi banding) ditengah tengah kesulitan bangsa ini membangun ekonomi, mereka bangga membangun WC senilai 2 Milyar  atau membeli korsi senilai 25 Juta.


  1. Menuju Orde Baru Jilid Kedua

Menyaksikan sinetron politik yang ada di Indonesia, maka  nampaknya pembangunan politik di Indonesia tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan kepada politisi dan partai politik.  Karena partai politik dan politisi telah menunjukkan kegagalannya dalam melaksanakan amanah reformasi di Indonesia.
Gerakan melakukan pembaharuan harus segera dilakukan jika tidak mengharapkan kehancuran bangsa ini kearah yang  lebih gawat.
Mengharapkan para politisi  bersedia memperbaiki hukum hukum yang lebih rasional  untuk membatasi kewenangan DPR  agar tidak menjadi lembaga superbody dan lembaga yang tidak beradab adalah suatu yang mustahil.
Maka gerakakan reformasi jilid kedua nampaknya perlu dilakukan dengan melakukan   revolusi   yang sistematis  oleh para mahasiswa dan birokrasi yang selama ini menjadi korban politik.
Gerakan ini harus dilakukan dengan mengajak militer melakukan  pembelaan dan memberikan kesempatan kepada militter mengambil peran  dalam reformasi, bukan hanya sebagai pemadam kebakaran dan selalu dibayangi oleh HAM.
Diperlukan Orde Baru jilid II  dengan memberikan semua elemen untuk menikmati kehidupan politik, dan politik bukan hanya milik politisi., apalagi politisi yang tidak beridiologi (politisi lompat  pagar).
Dengan demikinan maka Parlemen Indonesua akan dihuni oleh orang cerdas, birokrat cerdas,  dan ilmuwan cerdas yang mampu merumuskan visi misi Indonesia ke depan.    Bukan parlemen dan eksekuyif  yang menjadi berhala bagi rakyat. Dan sangat menakutkan.
Dengan demikian maka keluhan rakyat kecil yang menyatakan zaman Orde Baru lebih enak dari zaman Reformasi, dengan kata kata bahwa Orde Baru Jilid II lebih bermakna ketimbang reformasi tanpa arah.

REFORMASI   POLITIK
YANG   BIADAB
Oleh  DR. H. ZAINAL ASIKIN, SH, SU

A.Pendahuluan

            Ketika tahun 1999 saya  turun ke jalan mengajak mahasiswa melakukan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter dan korup,  tidak pernah terpikir bagi saya dan mahasiswa  tentang resiko, meskipun desingan peluru menghujam ke tembok tembok kampus yang sengaja diarahkan oleh aparat keamanan yang “pro Orde Baru “.   Hanya satu yang dipikirkan oleh gerakan reformasi  adalah bagaimana sebuah rezim jatuh dan tergantikan  oleh suasana baru dan  iklim politik baru yang lebih demokratis.
            Dan ahirnya gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, meskipun ketika itu  kaum reformis belum siap dengan konsep Indonesia Baru yang lebih bermartabat,  semua belum siap bagaimana mengelola sebuah Negara yang demokratis, mengelola sebuah kehidupan politik  yang  santun, bagaimana merumuskan nilai nilai kebaruan  yang  beretika, dan membangun kehidupan ekonomi yang menghidupi rakyat.
            Nah sekonyong konyong,  muncul para Rambo Rambo  politik,  para  reformis gadungan (yang dulu tidak pernah terdengar) tiba tiba mengaku sebagai tokoh reformasi Indonesia  yang “  gila dan kemaruk  kekuasaan “   dengan membuat partai  politik, membuat  undang undang partai politik, undang undang susunan dan kedudukan anggota DPR  dan  DPRD   yang memberikan kekuasan  yang  “ super kepada DPR.   
            Oleh sebab itu jika sekarang orang menggembar gemborkan bahwa KPK adalah lembaga super body, maka pernyataan itu salah sama sekali karena  lembaga superbody di Indonesia adalah DPR, karena seluruh pengangkatan apa saja di Indonesia harus persetujuan DPR.    Tidak ada pengangkatan lembaga public tanpa melalui DPR, bahkan Negara Asing jika ingin menempatkan Duta dan Konsulnya di Indonesia harus persetujuan DPR. Ini sudah benar benar  gila.  Tapi itulah  kesalahan awal reformasi politik  yaitu “  ketidak siapan reformasi ini melakukan seleksi awal “  tentang  “ hukum hukum moralitas  dan sumberdaya yang berkualitas “.


  1. Parlemen  Yang Biadab

Salah satu kesalahan awal yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan para reformis gadungan itu adalah sekonyong  konyong membuat undang undang partai politik yang melarang pegawai negeri untuk  berpolitik dan bergabung dalam partai politik, padahal kita tahu sumber daya manusia  yang berkualitas berada di kantor kantor pemerintah, di kampus kampus dan di lembaga non depertemen.   Maka peraturan itu memaksa partai politik melakukan seleksi kader  secara semrawut, asal asalan  dan sama sekali tidak melakukan  seleksi secara ketat apalagi berjenjang karena memang partai politik harus segera berkuasa melalui Pemilu 1999 .
Akibat kesalahan awal ini maka parlemen kita diisi oleh politisi  gadungan, politisi yang kerjaannya tidur, nonton film porno,  atau marah marah pada menteri karena dengan marah tertutuplah kelemahannya. Bagaimana tidak saya melihat ada anggota parlemen yang asalnya dari tukang parkir terminal,  bahkan yang mengejutkan saya ada anggota parlemen daerah berprofesi sebagai mucikari ?   Itulah akibat tidak adanya seleksi yang ketat untuk bisa menjadi kader partai.
  
Parlemen kita tidak lebih sebagai “  pasar “ tempat traksaksi anggaran  yang akhirnya menggeret hampir  seluruh anggota parlemen di Indonesia , dari tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat  masuk pada pusaran “ korupsi yang memalukan “.   Bagaimana dengan eksekutif ?    Eksekutif kita di Indonesia, juga sama saja, dihuni oleh politisi, karena melalui jalur politiklah orang bisa menjadi gubernur, bupati dan walikota.  Kendati jalur independent dibolehkan, tapi jalur ini banyak mengalami jalan berliku yang dibuat oleh politisi.   Akibat lebih jauh adalah hampir di seluruh Indonesia para pimpinan daerah terlibat kasus korupsi yang sangat memalukan.  Yang menyakitkan  sekali bahwa koruptor yang ditangani KPT itu mayoritas berasal dari Partai yang memakai nama Islam.

Rapuhnya mentalitas politisi Indonesia juga disebabkan tidak adanya kaidah kaidah dan etika politik yang dimiliki oleh partai politik, sehingga   begitu mudahnya seorang lompat dari partai politik yang satu ke partai politik yang lain. Padahal partai politik adalah  sebuah  perjuangan idiologi yang  sejatinya  ditanamkan secara  militant pada kader partai. Tapi jika partai politik tidak memiliki adab pengkaderan maka muncullah kader kutu loncat yang sekedar cari untung pribadi, bukan berpolitik untuk membangun kehidupan politik yang lebih  prospektif.

Kondisi kondisi di atas adalah pemicu lahirnya sebuah Parlemen yang biadab dan eksekutif  yang tidak bermartabat, sehingga mereka menjadi bangga jika  berjalan jalan (studi banding) ditengah tengah kesulitan bangsa ini membangun ekonomi, mereka bangga membangun WC senilai 2 Milyar  atau membeli korsi senilai 25 Juta.


  1. Menuju Orde Baru Jilid Kedua

Menyaksikan sinetron politik yang ada di Indonesia, maka  nampaknya pembangunan politik di Indonesia tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan kepada politisi dan partai politik.  Karena partai politik dan politisi telah menunjukkan kegagalannya dalam melaksanakan amanah reformasi di Indonesia.
Gerakan melakukan pembaharuan harus segera dilakukan jika tidak mengharapkan kehancuran bangsa ini kearah yang  lebih gawat.
Mengharapkan para politisi  bersedia memperbaiki hukum hukum yang lebih rasional  untuk membatasi kewenangan DPR  agar tidak menjadi lembaga superbody dan lembaga yang tidak beradab adalah suatu yang mustahil.
Maka gerakakan reformasi jilid kedua nampaknya perlu dilakukan dengan melakukan   revolusi   yang sistematis  oleh para mahasiswa dan birokrasi yang selama ini menjadi korban politik.
Gerakan ini harus dilakukan dengan mengajak militer melakukan  pembelaan dan memberikan kesempatan kepada militter mengambil peran  dalam reformasi, bukan hanya sebagai pemadam kebakaran dan selalu dibayangi oleh HAM.
Diperlukan Orde Baru jilid II  dengan memberikan semua elemen untuk menikmati kehidupan politik, dan politik bukan hanya milik politisi., apalagi politisi yang tidak beridiologi (politisi lompat  pagar).
Dengan demikinan maka Parlemen Indonesua akan dihuni oleh orang cerdas, birokrat cerdas,  dan ilmuwan cerdas yang mampu merumuskan visi misi Indonesia ke depan.    Bukan parlemen dan eksekuyif  yang menjadi berhala bagi rakyat. Dan sangat menakutkan.
Dengan demikian maka keluhan rakyat kecil yang menyatakan zaman Orde Baru lebih enak dari zaman Reformasi, dengan kata kata bahwa Orde Baru Jilid II lebih bermakna ketimbang reformasi tanpa arah.